Internet Addiction Disorder
hello sunshine
April 18, 2018
0 Comments
Internet
Addiction Disorder (Kecanduan Internet)
Menurut Young (1996).
Seorang pecandu internet
tidak merasa dirinya kecanduan
internet bahkan tidak
mau disebut pecandu internet karena tidak menyadari bahwa perilaku onlinenya berlebihan.
Pecandu internet tidak dapat menghentikan keinginannya untuk online sehingga kehilangan
kontrol dari penggunaan internet
dan kehidupanya. Seorang pecandu
internet akan menghabiskan waktu
berjam-jam bahkan secara ektrem
berhari-hari berada di
depan komputer untuk online.
Menurut Young, 1996, Tanda-tanda seseorang yang mengalami kecanduan
internet sebagai berikut :
- Perhatian tertuju pada internet (memikirkan aktifitas online sebelumnya atau berharap segera online),
- Ingin menggunakan internet dalam jumlah waktu yang semakin meningkat untuk mendapatkan kepuasan,
- Tidak dapat mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan internet,
- Merasa gelisah, murung,tertekan atau lekas marah ketika mengurangi atau menghentikan penggunaan internet,
- online lebih lama dari waktu yang diharapkan,
- Mempertaruhkan atau berani mengambil resiko kehilangan hubungan dengan signifikan (orang terdekat, orang tua), pekerjaan, pendidikan,kesempatan berkarir karena internet,
- Berbohong terhadap anggota keluarga, terapis atau yang lainnya untuk menyembunyikan tingkat hubungan dengan internet,
- Menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau menghilangkan dysphoric mood (perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, cemas, depresi).
Contoh Kasus
:
Dikutip dari
BBC (28/02/18), Seorang Pria bernama Junaid Ahmed(22thn) mengaku kecanduan selfie. Pemilik Instagram dengan pengikut 52,2K. Ia berswafoto sekitar 200 kali setiap
harinya. Ia kemudian mengunggah foto terbaiknya di Instagram. Jika jumlah likes-nya
kurang dari 600, ia akan menghapusnya.
Baru-baru ini sebuah penelitian menunjukkan obsesi terhadap selfie memang merupakan gejala kesehatan jiwa, yang lalu disebut Selfitis.
Menurut para periset di University of Nottingham dan Thiagarajar School of Management di India, dorongan untuk berswafoto dan mengunggahnya di media sosial lebih dari enam kali sehari disebut selfitis kronis.
Namun, Junaid mengakui bahwa kebiasannya itu menimbulkan percekcokan dengan orang-orang terdekatnya.
"Mereka berkata, 'Bisa ngga sih kamu makan tanpa foto?'" ujar Junaid
"Aku menjawab, 'Ngga, aku dandan tiga jam bukan tanpa alasan'. Lalu mengapa aku harus menghentikan kebiasaanku?" imbuh dia.
Junaid mengatakan, komentar negatif atas fotonya tak lagi mengganggu dirinya. Namun, ia mengaku harus melakukan sejumlah perubahan di wajahnya karena merasa dituntut untuk sempurna.
Junaid mengatakan komentar-komentar negatif di bawah fotonya tidak lagi mempengaruhinya, tidak seperti di masa-masa awal. Namun, dia mengaku harus memoles wajahnya karena merasa adanya tekanan agar tampil dalam tampakan tertentu.
"Bertahun-tahun yang lalu saya tidak pernah tampil seperti ini. Saya dulu tampil alami. Tapi saya pikir dengan obsesi pada media sosial ... Saya ingin meningkatkan diri sekarang ini."
"Gigi saya di-veneer agar terlihat lebih putih, saya menyuntikkan filler di dagu, pipi, rahang, bibir. Lalu botox di bawah mata dan di kepala. Selain tatoo alis dan sedot lemak." Junaid, yang tinggal di Essex, Inggris, mengatakan bahwa ia menyadari media sosial bisa begitu negatif, namun ia tidak terlalu menganggapnya serius.
"Apa yang tampak di media sosial bukanlah hal yang sebenarnya," katanya.
"Media sosial sangat menyenangkan bila menggunakannya dengan cara yang benar. Namun, jangan sampai itu berdampak pada hidupmu karena kamu ingin menjadi seperti orang yang kamu lihat di instagram," imbuhnya.
Nadhifa Ramadhani P.
15516250
2PA14
Sumber:
Herlina Siwi
Widiana, Sofia Retnowati, Rahma Hidayat
Fakultas
Psiologi UAD, Fakultas Psikologi UGM, Fakultas Psikologi UGM. Kontrol Diri dan Kecenderungan Kecanduan
Internet.